Sabtu, 22 Desember 2012

Ishtishab

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istishhab Istishhab menurut bahasa meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash shuhbah). Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi istishhab yang di kemukakan ulama’ antara lain: 1. Menurut Asy-syaukani: بَقَاءُ اْلأَمْرِ مَالَمْ يُوْجَدْ مَا يُغَيِّرُهُ " Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya." Maksudnya adalah eksistensi hukum suatu masalah di masa lalu tetap berlaku di masa kini dan di masa yang akan datang, dengan syarat tidak terdapat perubahan pada masalah tersebut. Akan tetapi, jika terdapat perubahan pada objek hukum tersebut, maka dengan sendirinya hukumnya juga menjadi berubah. 2. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah إِسْتِدَامَةُ مَا كَانَ ثَابِتًا وَنَفَى مَا كَانَ مَنْفِيًّا حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيُّرِ الْحَالِ "Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut." Maksud dari definisi di atas yaitu suatu hukum baik dalam bentuk positif ataupun negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus berlaku. 3. Menurut Ibnu Hazm بَقَاءُ حُكْمِ اْلأَصْلِ الثَّابِتِ بِالنُّصُوْصِ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ مِنْهَا عَلَى التَّغَيُّرِ "Tetap berlakunya suatu hukum di dasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut." Maksud dari definisi ini ialah suatu hukum dinyatakan tetap berlaku jika landasannya adalah Nash. Dengan demikian Ibnu Hazm hendak menekankan, bahwa penetapan hukum tidak cukup hanya berdasarkan prinsip kebolehan dasar tetapi harus dikukuhkan oleh dalil yang bersumber dari Nash. Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Istishhab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut : a. Setiap hukum yang ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbath (pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang. b. Perubahan hukum yang ada dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya. c. Berbeda dengan Ulama’ lainnya, Ibnu Hazm menegaskan, pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil Nashsh. Tidak cukup hanya beedasarkan prinsip al-ibahah ashliyyah. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih jauh, perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan pertentangan hukum. Dengan kata lain, perbedaan tersebut hanya dari segi redaksi saja (al-khulf lafdzi). Sebab baik as-Syaukani maupun Ibnu al-Qayyim, pada hakikatnya, sama-sama mendasarkan definisi dan pendapat mereka tentang al-istishhab tidak semata-mata pada al-ibahah al-ashliyyah, melainkan berdasarkan dalil syara’ juga, yaitu istiqra’ terhadap ketentuan-ketentuan syara’ pada umumnya. B. Macam-macam Istishhab 1. Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar) Maksudnya, setelah datangnya agama islam, pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara’ yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Istishhab ini hanya berlaku dalam bidang muamalah tidak dalam bidang ibadah dan akidah. Berdasarkan dalil Istishhab ini, maka semua jenis makanan dan minuman yang tidak ada larangan syara’ terhadapnya, maka ia boleh dimakan, selama ia bermanfaat. Demikian juga segala bentuk transaksi bisnis yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya, maka ia boleh dikerjakan, selama ia bermanfaat dan tidak menimbulkan kemudharatan. Ketentuan Istishhab ini berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah : 29 :     •    Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu Dan firman Allah surat Al-Maidah : 87:        •            Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Akan tetapi perlu ditegaskan pada dasarnya segala sesuatu yang membahayakan adalah haram, meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskanya. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ Artinya : Tidak ada kemudharatan dan tidak ada yang memudharatkan. Maksudnya, yaitu melarang segala macam bentuk yang membahayakan. Sebab menurut Qaidah bahasa arab bentuk kata nakiraoh dalam konteks nafy, berlaku umum. Kata dharar menunjuk pengertian yang mengandung kemudharatan. Dan memiliki dua makna : - Me-nafy-kan segala sesuatu yang membahayakan dan merugikan orang lain yang bersumber dari seseorang secara sepihak. - Me-nafy-kan segala sesuatu yang membahayakan dan merugikan yang ditimbulkan oleh masing-masing dari kedua belah pihak. Sebagian ulama’ mengistilahkan Istishhab ini dengan istishhab al-bara’ah al-ashliyyah (tetap berlakunya ketentuan bebas dari kewajiban) atau bara’ah al-adam al-ashliyyah (tetapnya ketentuan tidak ada kewajiban). Penggunaan istilah ini karena melihat dari segi tidak adanya kewajiban syara’ bagi seseorang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya kewajiban terhadap darinya. 2. Istishhab ma dallaas-syar’aw al-`aql `ala wujudih (istshhab terhadap sesuatu yang menurut aqal atau syara’ diakui keberadaannya) Maksudnya, tetap berlakunya hukum sesuatu, baik keberlakuannya ditinjau dari syara’ maupun menurut logika sampai ada alasan atau ada dalil yang mengubah keberlakuan hukum tersebut. Misalnya, tetapnya hukum wudlu’ setelah seseorang berwudlu’, sampai terbukti bahwa wudlu’nya telah batal, misalnya karena buang angin. Karena itu, berdasarkan istishhab , wudlu’nya tidak batal hanya karena ada perasaan ragu-ragu tentang masih tetap atau batalnya wudlu’ seseorang. 3. Istishhab al-ummum ila an-yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umm sampai ada yang mengkhususkannya) Pada dasarnya semua ulama’ juga sepakat dengan istishhab yang ini karena konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah datangnya syari’at sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah SAW..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar