Sabtu, 22 Desember 2012
Pnyampaian dan Penerimaan Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demi menjaga kemurnian hadits dari kesalahan periwayatannya, diperlukan ilmu yang mempelajari tentang penerimaan dan penyampaian riwayat hadits. Sebagia ulama hadits banyak yang telah merumuskan syarat-syarat dan tata cara penerimaan dan penyampaian riwayat hadits. Disamping itu perihal tentang keadilan dan kedhobithan perowi merupakan hal terpenting dalam menetukan kemurnian suatu hadits.
Unutk lebih jelasnya penulis akan memaparkan hal diatas dalam makalah ini. Semoga bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Penerimaan riwayat Hadits ?
2. Bagaimana cara Penerimaan Hadits ?
3. Apa pengertian Penyampaian Hadits ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tentang penerimaan hadits
2. Untuk mengetahui cara-cara penerimaan hadits
3. Untuk memahami pengertian penyampaian hadits
BAB II
PEMBAHASAN
PENERIMAAN DAN PENYAMPAIAN HADITS
A. Penerimaan Riwayat Hadits
Penerimaan hadits nabi ini sering disebut dengan istilah “tahammul al-hadits”. Yaitu sistem yang dipakai dalam menerima dan mengambil hadits oleh seorang rowi dari guru-guru hadits. Dalam hal ini dijelaskan pula bagaimana seoranng murid memelihara atau mengahfal hadits secara benar dan meyakinkan mengenai riwayat hadits yang pernah diterima dari gurunya.
Para ulama’ sepakat bahwa untuk menerima periwayatan hadits nabi tidak dipersyaratkan beragama Islam dan telah mencapai umur dewasa (baligh). Namun setidaknya sudah mencapai umur tamyiz. Jadi orang yang tidak atau belum beragama Islam dan anak-anak dinyatakan sah menerima periwayatan hadits nabi (tetapi untuk penyampaian hadits tidak sah). Memang ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa untuk menerima hadits, seseorang harus telah mencapai umur dewasa, tetapi pendapat ini tidak populer dan tidak banyak diikuti.
Diantara alasan para ulama’ yang membolehkan anak-anak menerima riwayat hadits nabi ialah karena pra sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadits seperti Hasan, Husen, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Numan bin Bashri, Sa’id bin Yazid dll tanpa mempermasalahkan mereka telah baligh atau belum. Namun meraka berbeda mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan ber-tahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ke-tamyiz-an anak tersebut.
Al-Qadhi Iyad menetapkan bahwa batas minimal usia anak yang diperbolehkan ber-tahammul adalah lima tahun, karena pada masa usia ini anaka sudah mampu mengahafalkan sesuatu yang didengar dan mengingat-ingat hafalannya.
Abu Abdullah az-Zubairy mengatakan bahwa sebaiknya seorang anak diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai 10 tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal da mengingat-ingat hafalannya dan mulai menginjak remaja. Yahya bin Ma’in menetapkan usia 15 tahun.
Kebanyakan ulama’ ahli hadits tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan ber-tahammul, tetapi menitikberatkan pada ke-tamyiz-an mereka. Namun mereka juga berbeda pendapat tentang ke-tamyiz-an tersebut. Ada yang mengatakan bahwa seorang anak dikatagorikan tamyiz apabila ia sudah mampu membedakan antara al-baqar dan al-khimar, seperti diungkapkan oleh Al-Hafizh bin Musa bin Harun al-Hamal. Menurut Imam Ahmad bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat hafalannya. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran ke-tamyiz-an seorang anak bukan berdasarkan usia mereka tetapi dilihat dari segi apakah ia memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar.
Terjadinya perbedaan pendapat para ulama’ mengenai ke-tamyiz-an seorang anak tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi dirinya dan bukan berdasarka pada usianya, sebab bisa saja seoarang anak pada usia tetentu, karena situasi dan kondisi yag mempengaruhi, ia sudah mumayyiz, sementara anak yang lain pada usia yang sama karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi ia belum mumayyiz. Oleh karena itu ke-tamyiz-an bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan seseorang untuk menangkap dan memahami pembicaraaan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaam hadits bagi orang kafir dan orang fasiq, jumhur ulama’ ahli hadits sepakat untuk menganggap sah asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan telah bertaubat.
Penulis menyimpulkan bahwa beragama Islam merupakan syarat utama dalam menerima hadits.
B. Cara Penerimaan Hadits
Para ulama Ahli hadits menggolongkan metode penerimaan suatu periwayatan hadits menjadi 8 macam yakni sebagai berikut :
1. As-Sima’
Yaitu penerimaan hadits denga cara mendengarkan perkataan gurunya, baik dengan cara didiktekan maupun dengan cara lainnya, baik dari hafalannya maupun dair tulisannya.
Menurut Al-Qadhi Iyad, para perowi yang menggunakan cara sima’ dalam meriwayatkan haditsnya biasanya menggunakan kata-kata :
• حَدَّثَنَا : seseorang telah menceritakan kepada Kami
• أَخْبَرَنَا : seseorang telah mengabarkan kepada Kami
• أَفْيَانَا : seseorang telah memberitakan kepada kami
• سَمِعْتُ فُلاَناً : saya telah mendengar seseorang
• قَالَ لَنَا فُلاَنٌ : seseorang telah berkata kepada kami
• ذَكَرَ لَناَ فُلاَنٌ : seseorang telah menuturkan kepada kami
2. Al-Qiro’ah ala Asy-Syaikh disebut juga Al-Arad
Yaitu disebut penerimaan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits di hadapan guru hadits, baik dia sendiri yang membacakan mauoun orang lain da dia hanya mendengarkannya, baik Sang guru hafal atau tidak, namun ia memgang atau mengetahui tulisannya.
3. Al-Ijazah
Yaitu seorang guru memberi izin kepada murid untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya seperti : عَجَزْتُ لَكَ عَنْ زَوِيَ عَنِّيْ
Artinya : Aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai penggunaan Ijazah sebagai cara untuk meriwayatkan hadits. Ibnu Hasyim mengatakan bahwa Al-Ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Adapun Ulama’ yang memperbolehkan cara ini menetapkan syarat bahwa sang guru harus benar-benar mengerti tentang atau kita yang diijazahi dan naskah muridnya harus menyamai aslinya, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah asli. Selain itu guru yang memberi Ijazah harus benar-benar ahli ilmu.
4. Al-Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan hadits atau beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi kepada muridnya sebuah kitab asli yang didengar dari gurunya dengan berkata “inilah hadits-hadits yang sudah aku dengarkan dari seseorang maka riwayatkanlah hadits ini dariku dan aku ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan.
5. Al-Mukatabah
Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian haditsnya untuk diberikan kepada murid yang ada dihadapannyaatau yang tidak hadir dengan jalan mengirimkan surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
6. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa hadits atau kitab yang diriwayatkan dia terima dari seseoarag tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits tersebut atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkannya.
7. Al-Washiyah
Yaitu seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits atau kitabnya apabila ia meninggal atau bepergian.
8. Al-Wajadah
Yaitu seseorang memperoleh hadits orang lain denga mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara as-sima’, al-ijazah, al-munawalah.
Ternyata setelah kita ketahui bahwa ada banyak cara yang bisa digunakan untuk menerima riwayat hadits, dan dalam menerima hadits bukanlah sama dengan menerima informasi biasa yang bisa kita peroleh dari siapapun, darimanapun, dan dengan cara apapun yang kita inginkan, akan tetapi melalui beberapa cara yang telah disebutkan diatas.
C. Penyampaian Hadits
Penyampaian riwayat hadits lazim disebut dengan istilah “ada’ al-hadits” yaitu suatu kegiatan menyampaikan dan meriwayatkan hadits nabi kepada orang lain.
Para ulama’ menetapkan beberapa syarat bagi seorang rowi hadits sebagai berikut :
1. Baligh : cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits walaupun ketika menerima periwayatan ia masih kecil
2. Muslim : beragama islam sewaktu menyampaikan hadits
3. Adil : orang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat, dan tidak mengerjakan dosa besar maupun dosa kecil
4. Dhobith : dapat menangkap dan memahami apa yang didengar, kemudian mampu menghafalnya dengan baik, ssehingga ketika diperlukan ia dapat menyebutkan kembali dengan benar pula
5. Tidak Syadz : hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat, atau dengan al-qur’an
Dari beberapa persyaratan diatas ada dua yang perlu mendapatkan perhatian yaitu keadilan dan kedhobithan. Unutk mengetahui keadialan para perowi dapat ditempuh melalui tiga hal berikut :
1. Popularitas dan keutamaan perowi dikalangan para ulama hadits
2. Melalui penilaian kritikus hadits
3. Melalui penerapan kaidah al-jarh wa at-ta’dil
Sedangkan tentang penilaian kedhobithan para perowi dapat ditempuh melalui tiga hal berikut :
1. Kesaksisan ulama hadits
2. Kesesuaian uraian periwayatannya dengan riwayat yang disampaikan oleh perowi yang telah dikenal kedhobithannya
3. Sekiranya pernah terjadi kesalahan dalam meriwayatkan, maka hal itu tidak terjadi berulang-ulang.
Ternyata dapat kita ketahui bersama bahwa sama halnya dengan penerimaan hadits, penyampaiannyapun juga memilik banyak ketentuan yang harus benar-benar diperhatikan. Terutama mengenai keadilan dan kedhobithan seorang perowi, karena kedua hal tersebut merupakan barometer dari kemurnian sebuah hadits dari kesalahan periwayatannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penerimaan hadits nabi ini sering disebut dengan istilah “tahammul al-hadits”. Yaitu sistem yang dipakai dalam menerima dan mengambil hadits oleh seorang rowi dari guru-guru hadits.
Para ulama Ahli hadits menggolongkan metode penerimaan suatu periwayatan hadits menjadi 8 macam yakni sebagai berikut :
1. As-Sima’
2. Al-Qiro’ah ala Asy-Syaikh disebut juga Al-Arad
3. Al-Ijazah
4. Al-Munawalah
5. Al-Mukatabah
6. Al-I’lam
7. Al-Washiyah
8. Al-Wajadah
Penyampaian riwayat hadits lazim disebut dengan istilah “ada’ al-hadits” yaitu suatu kegiatan menyampaikan dan meriwayatkan hadits nabi kepada orang lain.
B. Saran
Alhamdulillah atas izin Allah SWT. akhirnya makalah ini dapat terselasaikan. Demi kesempurnaan pada makalah selanjutnya, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
M. Nawawi. 2010. Pengantar Studi Hadits. Surabaya : Kopertais IV Press,
Mudatsir. 2010. Ilmu Hadits. Bandung : Pustaka Setia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bet365 casino no deposit bonus codes, free spins
BalasHapusBet365 Casino 먹튀 사이트 조회 no 포커 스트레이트 deposit 브라 밝기 조절 bonus codes, free spins · What are 블랙 잭 만화 the 월드벳 most popular Bet365 casino bonuses? · Bet365 casino no deposit bonus codes. · How to open an account on Bet365