Sabtu, 22 Desember 2012
Pendidikan Menurut Al-Farabi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sempurna adalah mereka yang mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian. Kajian filsafat telah lekat dalam kehidupan Al-Farabi. Cendekiawan Muslim yang hidup di abad ke-8 ini, pun menjelma menjadi seorang filsuf ternama di masanya. Dan kini, reputasinya tetap tak lekang oleh masa. Al-Farabi pun dikenal sebagai ahli matematika, logika, dan tata bahasa. Di sisi lain, pemikirannya menjangkau pula ranah pendidikan.
Untuk lebih lengkapnya mengenai konsep pendidikan Islam menurut Al-Farabi berikut riwayat hidup dan hasi karyanya, akan penulis paparkan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah hidup Al-Farabi dan hasil karyanya ?
2. Bagaimana konsep pendidikan Islam menurut pandangan Al-Farabi ?
3. Bagaimanakah metode pengajaran yang di terapkan oleh Al-Farabi ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengenal sosok Al-Farabi dan karya-karyanya
2. Memahami pandangan Al-Farabi tentang pendidikan Islam
3. Mengetahui tentang metode pengajaran yang dimunculkan oleh Al-Farabi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890 M. Beliau berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki. Beliau melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah Beliau menerima pendidikan dasarnya. Sejak dini Beliau memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya, Beliau belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar. Setelah menyelesaikan studi dasarnya, Beliau pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya.
Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat Beliau di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia bernuansa Islam. Pada masa inilah Beliau mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah beliau pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936. Sebelum beliau tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu beliau menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, beliau kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafatnya. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, beliau membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahasa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya beliau berangkat ke Baghdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya beliau berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya beliau sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 beliau kembali ke Bagdad dan di sana beliau menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, yang telah memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera beliau bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, beliau pindah ke Damaskus karena situasi politik Baghdad yang memburuk. Beliau sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, beliau pindah ke Mesir yang pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini beliau mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan beliau karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya beliau tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, beliau meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.
Mungkin untuk sementara hanya ini yang bisa kami paparkan mengenai perjalana hidup seorang filsuf ternama Al-Farabi. Kami yakin andai saja beliau masih hidup dan berada di nagara kita sudah barang tentu beliau akan memberikan yang terbaik bagi bangsa kita. Mudah-mudahan akan lahir generasi Islam yang berkepribadian seperti Al-Farabi, yang nantinya akan membawa perubahan besar yang menuju arah yang lebih baik.
B. Pandangan Al-Farabi tentang Pendidikan
AL-Farabi meletakkan dasar-dasar pemikiran di bidang pendidikan. Dalam pandangan Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk menuju kesempurnaan.
Sebab, manusia diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan. Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar yang diaplikasikan dengan tindakan praktis. Kesempurnaan manusia, kata beliau, terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan dalam masyarakat. Jika tidak diterapkan maka ilmu itu tak berguna. Singkatnya, kata Al-Farabi, seseorang menjadi sempurna jika ia mempraktikkan ilmunya dalam tataran praktis.
Lebih lanjut Al-Farabi menyatakan, saat kebajikan teoretis dan moral berpadu dengan kekuasaan, lahirlah penghargaan masyarakat kepada individu itu. Saat kaum terpelajar mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik, ia yakin mereka bisa menjadi panutan. Sebab, kaum terpelajar memiliki kebajikan teoretis dan moral praktis. Menurut Al-Farabi, mereka menyatukan nilai-nilai moral dan estetika dalam menjalankan kepemimpinan politiknya. Kondisi dan perilaku seperti itulah yang mestinya dimiliki kaum terpelajar dan intelektual.
Dengan pandangannya yang seperti itu, Al-Farabi menekankan terwujudnya suatu kesempurnaan dalam ranah pendidikan. Yaitu, meleburnya pengetahuan intelektual dan perilaku yang saleh. Saat pemimpin politik tak berada di tangan kaum terpelajar, maka akan lahir bahaya besar.
Ini sangat beralasan, kata Al-Farabi, sebab seorang pemimpin tentu harus menjalankan kepemimpinannya dengan benar. Jadi, pendidikan itu sama seperti tubuh membutuhkan makanan dan kapal harus memiliki kapten. Menurut beliau, para pemimpin politik harus memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu wilayah yang dipimpinnya. Tapi, kerja para pemimpin politik mestinya tak terbatas pada organisasi dan manajemen wilayah. Mereka harus mampu mendorong orang saling membantu dalam kebajikan dan mengatasi kejahatan. Tak hanya itu, jelas Al-Farabi, mereka juga harus menggunakan keahlian politiknya untuk melindungi praktik kebajikan. Jadi, wilayah yang dipimpinnya sarat kebajikan. Tingkat keamanan suatu wilayah, menjadi cerminan keseimbangan moral. Ketika perilaku moral masyarakat menurun, kenyamanan wilayah itu mengalami gangguan. Jadi, jelas Al-Farabi, terciptanya moral yang baik juga merupakan bagian mendasar dari penyelenggaraan pendidikan.
Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat berkorelasi dengan kondisi moral yang baik. Terkait soal moral ini, ia mendefenisikan moral sebagai keadaan pikiran tempat manusia melakukan perbuatan yang baik. Juga, memiliki sifat etis atau rasional.
Selain mengaitkan pendidikan dengan kepemimpinan politik dan kondisi moral masyarakat, Al-Farabi juga menegaskan pembuatan hukum pun memiliki kaitan erat dengan pendidikan. Ia menilai bahwa pembuat hukum juga bisa dianggap sebagai penguasa. Terkait masalah hukum, Al-Farabi mengatakan, hukum harus mempunyai fungsi pendidikan. Artinya, pembuat hukum harus taat hukum. Dengan demikian, menaati hukum bukan hanya diwajibkan kepada masyarakat baik awam maupun intelektual. Menurut Al-Farabi, pembuat hukum harus terikat dengan hukum yang dibuatnya, sebelum mereka mengharapkan orang lain menaati dan menjalankan hukum yang dibuatnya itu.
Masyarakat, jelas Al-Farabi, tak akan mengikuti hukum jika para pembuat hukum sendiri mengabaikannya. Singkatnya, hukum memiliki fungsi pendidikan karena mengarah pada upaya penanaman kebajikan di dalam masyarakat.
Untuk tujuan itu, ungkap Al-Farabi, para pembuat hukum harus telah mendapatkan pelatihan sejak dini dalam urusan negara dan tujuan pembuatan hukum harus sesuai ketentuan Allah SWT. Menurut dia, para nabi merupakan perintis praktik hukum.
Sedangkan fungsi khalifah, jelas Al-Farabi, adalah memainkan peran pendidik yang sebelumnya dilakukan oleh para nabi. Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun menekankan agar kaum terpelajar tak hanya berdiam di menara gading. Tak heran jika Al-Farabi menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik dari pengetahuan yang dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam masyarakat. Sebab, kehidupan di suatu masyarakatlah yang bisa membuat seseorang mempraktikkan ilmunya.
Bila kaum terpelajar memutus sama sekali kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka, ujar Al-Farabi, maka kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar tanpa kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal melalui pendidikan.
Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan dalam proses pendidikan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak adalah mereka yang sangat mahir dalam bidang seni dan mencapai kesempurnaan di dalamnya. Ia menambahkan, pendidikan juga harus mampu menggali bakat alami yang dimiliki seseorang. Optimalisasi indera juga mendapatkan perhatian Al-Farabi. Bukan tanpa alasan ia mengatakan hal demikian. Menurut Al-Farabi, indera merupakan perangkat awal menangkap ilmu pengetahuan. Lalu, pengetahuan itu diubah menjadi konsepsi intelektual melalui imajinasi.
Menurut Al-Farabi, jiwa memahami apa pun yang mengandung unsur imajinasi. Ia menjelaskan, meski indera berkaitan dengan pengetahuan, namun indera hanya salah satu instrumen untuk menyerap pengetahuan. Akal manusialah yang memiliki potensi pemahaman.
Kami beranggapan tujuan pendidikan menurut Al-Farabi adalah menjadikan manusia yang benar-benar sempurna. Dan kemungkinan beliau berharap dunia ini dipegang oleh generasi Islam yang terpelajar dan intelektual.
C. Metode Pengajaran Al-Farabi
Bagi Al-Farabi, pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu. Tanpa pendidikan, seseorang tak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, pendidikan harus tersedia bagi semua orang tanpa memandang strata sosial mereka. Namun, metode pengajaran dalam pendidikan harus disesuaikan menurut kelompok tertentu. Al-Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan.
Pertama adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan langkah persuasif. Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode membujuk pendengar dengan hal-hal yang logis dan memuaskan pikirannya tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika pendengar melakukan hal-hal yang dia yakini adalah benar.
Dalam praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan kegiatan bersama-sama antara guru dan murid. Metode persuasif cocok untuk mengajarkan mata pelajaran seni dan kerajinan.
Sedangkan, metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori tentang kebajikan dalam masyarakat. Selain itu, Al-Farabi juga mengadopsi metode filsuf Yunani, Plato. Ia menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula pentingnya diskusi dan dialog dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua hal baru, yaitu argumen dan wacana.
Metode wacana dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang suatu hal. Lalu, orang-orang akan didorong untuk memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan, metode argumen digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara.
Bahkan, metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang sebelumnya mereka tolak. Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen cocok untuk mengajar orang-orang yang keras kepala. Untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling dipahami. Al-Farabi menuliskan semua metode pengajaran tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Alfaz.
Ternyata metode yang beliau munculkan yakni metode persuasif dan demonstratif serta metode wacana dan argumen, sampai saat ini masih tetap diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia, mulai dari lembaga pendididkan terendah sampai lembaga pendidikan tertinggi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890 M. Beliau berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki
Sejak dini Beliau memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya, Beliau belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, matematiak, ilmu logika, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar. Beliau juga dikenal sebagai tokoh filsuf dan cendekiawan Islam yang memiliki kecerlangan dalam berpikir.
. Dalam pandangan Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk menuju kesempurnaan.
Menurut Al-Farabi metode yang tepat digunakan dalam pengajaran adalah metode persuasif dan demonstratif. Disamping itu beliau juga mengikuti metode yang diajarkan oleh filsuf Yunani, Plato, yakni metode dialog yang memunculkan metode wacana dan argumen.
DAFTAR PUSTAKA
http://hbis.wordpress.com/2008/08/01/mengenal-al-farabi-filosofis-muslim/diakses:06-03-12/09:34
http://republika.co.id/koran/36/98747/Al_Farabi_Konsep_Pendidikan_ Manusia_Sempurna/diakses:08-03-12/22:58
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar